TARI TOPENG
SUDAH lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya
akibat daya pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga
di luar negeri. Tari Panji, yang merupakan tarian pertama dalam
rangkaian Topeng Cirebon, adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum
ada koreografer Indonesia yang mampu menciptakan tarian serupa untuk
menandinginya. Tarian Panji seolah-olah “tidak menari”. Justru karena
tariannya tidak spektakuler, maka ia merupakan sejatinya tarian, yakni
perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki
diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini
akan membosankan. Tarian kok tidak banyak gerak? Bukankah hakikat tari
itu memang gerak (tubuh)?
Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon.
Bagaimana penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk
desa yang tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan
penciptanya. Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari
Keraton Cirebon yang dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon
diberi status “pegawai” oleh Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak
diperkenankan memerintah secara otonom lagi, maka sumber dana untuk
memelihara semua kesenian Keraton tidak dimungkinkan lagi. Para abdi
dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai yang amat diperlukan sesuai
dengan “gaji” yang diterima Raja dari Pemerintah Hindia Belanda.
Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton
harus mencari sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang
semula berpusat di Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat
petani pedesaan. Dan seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng
Cirebon juga dengan cepat mengalami transformasi-transformasi. Proses
transformasi itu berakhir dengan keadaannya yang sekarang, yakni
berkembangnya berbagai “gaya” Topeng Cirebon, seperti Losari, Selangit,
Kreo, Palimanan dan lain-lain.
Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang
baku, diperlukan studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon
tadi harus diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan
strukturnya yang mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita
peroleh bentuk yang mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat
dilakukan tanpa berbekal dasar filosofi tariannya.
Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat
dipastikan? Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada
dan dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks
budaya Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon
sendiri yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis
terhadapnya.
Siapakah Empu pencipta tarian ini? Sampai kiamat pun
kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat Indonesia lama tidak
akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis dikenal di
Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat
pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.
Di zaman mana?
Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di
zaman mana Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak
ada. Namun ada dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian
ini sudah dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja
ini menari topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan
topeng emas (atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana
Majapahit. Jadi Tari topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja
dengan penonton perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja,
ipar-ipar perempuan raja, ibu mertua raja, ibunda raja).
Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini
sudah populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh
Masehi. Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem
kepercayaan Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di
Keraton Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini
rupanya dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi
tarian ini atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang
tetap spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana
di kaki Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru
membuktikan bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep
kekuasaan Jawa. Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng
ini, ditunjukkan oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah
beralih kepada Raden Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.
Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran
pengaruh politik Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh
kekuasaan dan Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah
barat sampai di Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya
berita-berita Belanda menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten.
Banten dan Cirebon, sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak,
terbukti dari penggunaan bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri
dilanjutkan oleh Pajang yang berada di pedalaman, kemudian digantikan
oleh Mataram yang juga di pedalaman.
Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di
daerah pesisir Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak
hidup kecuali bentuk dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup
dalam fungsi ritualnya, tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan
Islam Jawa pedalaman. Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena
pesona seninya. Topeng sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi
Panji yang hinduistik. Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu
pada realitas transenden. Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat
yang kuat Islamnya masih memelihara kesenian ini.
Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang
berdasarkan sistem kepercayaan Indonesia purba dan
Hindu-Budha-Majapahit. Paham kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia,
dalam hal penciptaan, adalah emanasi. Paham emanasi ini diperkaya
dengan kepercayaan Hindu dan Budha. Paham emanasi tidak membedakan
Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan adalah bagian atau pancaran dari
Sang Hyang Tunggal.
Siapakah Sang Hyang Tunggal itu? Dia adalah
ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan mutlak. Sedangkan
semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka, keberagaman.
Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling
bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh
Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf
Yunani pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini.
Boleh dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari
pasangan kembar yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan,
adalah universal manusia purba.
Mengandung semua sifat ciptaan
Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung
semua sifat ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling
bertentangan, maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi
kembar tadi hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif
melebur jadi satu dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua
sifat-sifat yang dikenal manusia berada secara seimbang dalam diriNya
sehingga Sifat itu tidak dikenal manusia alias Kosong mutlak.
Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan sejati karena Dia mengandung
semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh itu Kosong, itulah Sang
Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan, tunggal mutlak. Di
Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.
Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang
Hyang Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar
saling bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan,
daratan dan laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni
tarian yang pertama. Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian
lima tarian topeng Cirebon. Tarian Panji justru merupakan klimaks
pertunjukan. Itulah peristiwa transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi
semesta. Dari yang tunggal belah menjadi yang aneka dalam
pasangan-pasangan.
Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali
secara pasti apakah itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah
gerak-geriknya lelaki atau perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih
tanpa hiasan, itulah Kosong. Gerak-gerak tariannya amat minim, namun
iringan gamelannya gemuruh. Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam.
Tarian Panji sepenuhnya sebuah paradoks. Inilah kegeniusan para empu
purba itu, bagaimana menghadirkan Hyang Tunggal dalam transformasinya
menjadi aneka, dari ketidakberbedaan menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah
puncak topeng Cirebon, yang lain hanyalah terjemahan dari proses
pembedaan itu.
Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari
Hyang Tunggal tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua
pasangan yang saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan
“Patih-Klana”. Inilah sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah,
sedangkan “Patih-Klana” berwarna gelap (merah tua).
Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus
keperempuan-perempuanan, sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian.
Pamindo-Rumyang menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji)
dan Patih-Klana menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang,
gelap dapat berarti malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat
bahwa semuanya itu adalah Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi
dua pasangan saling bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat
tarian setelah Panji mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini
orang-orang tari tentu lebih fasih menjelaskannya.
Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal,
yakni terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya.
Topeng Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial
umat manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau
di zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran
Sang Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja
adalah Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.
Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang
hadirnya alam semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang
merupakan ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan
relatif yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang
Hyang Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah
perwujudan dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang
saling bertentangan.
Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral.
Tarian ini sama sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam
kitab-kitab lama disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang
terbatas yang disaksikan saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan
topeng ini diperlukan laku puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang
ini masih dipatuhi oleh para dalang topeng di daerah Cirebon.
Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian.
Dan sajian itu bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal.
Sajian adalah lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya
dalam sajian sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang
perempuan, didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki.
Bubur merah lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek
batu yang kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus
sebagai lambang perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang
perempuan. Air kopi lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas,
air teh lambang Dunia Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang
ditunggalkan.
Tidak ada komentar
Posting Komentar