Peristiwa Kapal Zeven Provincien (Kapal Tujuh)
Di pulau Onrust, terdapat beberapa makam sederhana yang terletak tidak jauh dari pemakaman Belanda. Pada makam tersebut diperkirakan dikuburkan korban tragedi kapal Zeven Provinciƫn. Banyak diantara masyarakat yang tidak mengetahui perihal tragedi tersebut, di buku-buku pelajaran sejarah sekolah pun bisa dikatakan tidak ada yang mengungkit hal tersebut, padahal peristiwa tersebut adalah bukti keberanian masyarakat Indonesia melawan tirani pada zaman Kolonialisme.
Pada Tahun 1933 Depresi besar (The Great Depression) masih melanda masyarakat dunia yang menyebabkan banyak pemutusan hubungan kerja, dan juga pemotongan upah pekerja. Pada masa itu kerajaan Belanda juga terkena imbasnya, begitu juga koloni-koloninya termasuk Hindia Belanda. Pada kala itu banyak pegawai yang bekerja kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda dikeluarkan atau dipotong upahnya.
Pada waktu yang bersamaan, Gubernur Jendral Hindia Belada De Jonge menggunakan gaya politik reaksioner yang bereaksi kepada organisasi-organisasi pergerakan nasional. Bentuk reaksinya berupa pelarangan pergerakan nasional dan pembungkaman kepada aktivis-aktivis yang memberikan tuntutan kepada pemerintah kolonial pada masa itu. Beberapa organisasi-organisasi pergerakan tentu bereaksi keras, PNI menyebarkan pamflet berisi agitasi agitasi dan ancaman pergerakan massa kepada pemerintah kolonial.
Aksi tersebut kemudian menimbulkan reaksi pekerja rendahan angkatan laut Hindia Belanda, terutama bagi kaum pribumi. Puncaknya adalah protes yang dilakukan oleh awak kapal perang De Zeven Provinciƫn. Kapal ini dibangun pada 1908 di Amsterdam, memiliki ukuran panjang 107, 80 m, lebar 17,50 m dan bobotnya 6.525 ton, terdiri dari 141 orang Belanda, 30 orang diantaranya adalah perwira dan 22 orang tamtama, juga termasuk 256 orang pribumi.
Kapal ini sekiranya akan dilayarkan untuk mengelilingi Sumatera dan akan kembali pada tanggal 1 Maret 1933, namun para pemberontak menyabotase kapal ini untuk segera berlayar kembali ke Surabaya sebagai bentuk protesnya. Di pelabuhan Ule lheue (Banda Aceh) pada tanggal 4 Februari 1933 Pengambilalihan dimulai, walaupun kenyataanya pada saat itu para komandan militer Belanda tidak menghiraukan informasi mengenai hal tersebut. Pada saat kapal tersebut melewati Selat Sunda, kondisinya sudah berbeda, kapal tersebut diintai oleh kapal perang lain dan beberapa kapal selam.
Kapal Zeven Provincien dilarang untuk memasuki perairan selat Sunda. Perintah tersebut bersamaan dengan perintah agar para pemberontak untuk menyerahkan diri dan ancaman pemboman oleh Pesawat Belanda. Para pemberontak tidak menggubris hal tersebut dan malah melanjutkan aksinya. Sayangnya peringatan tersebut bukanlah gertakan, Pesawat tempur belanda membombardir kapal Zeven Provincien. Korban pun berjatuhan, sekitar enambelas pribumi gugur pada saat itu, mereka dimakamkan langsung tanpa upacara di pulau onrust, yang masih dapat dilihat makamnya hingga kini. Tokoh pemimpin pergerakan tersebut adalah Kawilarang, seorang kelasi pribumi yang selamat dan tertangkap dan dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. Peristiwa berdarah tersebut merupakan peristiwa yang terlupakan, namun menjadi tonggak pergerakan perlawanan laut nasional dan pertama kalinya terjadi.
( Sumber : kebudayaanindonesia.net )
Tidak ada komentar
Posting Komentar