Pernyataan KH. Maman Imanulhaq tentang keterpurukan Polri
KOTA CIREBON (89,2 CR) - KH. Maman Imanulhaq, tokoh muda karismatik Jawa Barat dan sekaligus pengasuh pesantren Al Mizan, Majalengka, Jabar memberikan pernyataan menanggapi tentang keterpurukan Polri yang terus menerus didera berbagai masalah kecil hingga besar dan seakan-akan masalah tersebut tidak pernah akan surut. Selain kasus Polri vs KPK, ketidaksukaan masyarakat terhadap Polri diwujudkan dengan penolakan mahasiswa Universitas Pamulang, Tangerang yang berakhir dengan bentrokan.
KH. Maman Imanulhaq Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dinilai harus pulang ke Mertoyudan, Magelang, sebagai tempat di mana lembaga negara itu dilahirkan. Hal itu merupakan cara bijak dan sekaligus rendah hati agar kasus-kasus yang menimpa lembaga Polri itu terselesaikan secara spirit.
Yang dimaksud dengan Mertoyudan adalah Seminari Menengah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan yang merupakan “rumah bersalin” dan bahkan induk semang Polri yakni pada 1946-1948 , Demikian diungkapkan pada sabtu (20/10/).
Dikatakannya, dalam paham budaya timur termasuk Sunda dan Jawa, orang hidup memiliki masa pasang dan masa surut. Sebuah persoalan tidak menjadi perhatian ketika masa orang tersebut sedang pasang. Namun ketika masa hidup seseorang surut, masalah sekecil apapun harus diperhatikan agar tidak menjadi sumber dari masalah yang besar dan tidak terselesaikan.
“Ketika hidup berada pada masa surut itulah biasanya dijadikan masa untuk refleksi dan menengok ke belakang seberapa jauh sudah berjalan dan bagaimana bentuk hidup yang sudah dijalani. Dan kalau perlu, seseorang harus kembali kepada orangtuanya, tanah kelahirannya untuk mendapatkan spirit dalam menyelesaikan seluruh masalah hidupnya,” jelas Maman Imanulhaq.
Tokoh pluralisme nasional ini melanjutkan bahwa, kembali ke orangtua atau tanah kelahirannya juga dilakukan ketika orang akan naik ke tingkat hidup yang lebih tinggi seperti ketika hamil, menikah atau bahkan ketika meninggal saja, ada pesan khusus untuk dimakamkan di tanah kelahirannya meskipun yang bersangkutan sudah puluhan tahun merantau. Tentu, budaya seperti ini, lebih berlaku ketika hidup seseorang sedang dalam masa surut, masa terpuruk.
Terkait kasus yang mendera Polri saat ini, Maman Immanulhaq yang juga Kordinator KOMPAK menjelaskan, seharusnya tidak ada rivalitas antar lembaga dalam pemberantasan korupsi. KPK harus menghargai Polri mengingat Polri itu lembaga negara terus melakukan reformasi di tubuhnya. Sikap menghargai KPK terhadap Polri memberikan motivasi kepada Polri untuk bersikap bersih, kuat dan berwibawa.
Harus diakui, negara ini tidak akan kuat tanpa Polri. Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga harus membantu Polri untuk bangkit dari keterpurukan. Sementara kepulangan Polri kembali ke tanah kelahirannya bisa dijadikan momentum untuk sikap refleksi atas sejarah panjangnya selama 66 tahun.(Jums-CR).
KH. Maman Imanulhaq Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dinilai harus pulang ke Mertoyudan, Magelang, sebagai tempat di mana lembaga negara itu dilahirkan. Hal itu merupakan cara bijak dan sekaligus rendah hati agar kasus-kasus yang menimpa lembaga Polri itu terselesaikan secara spirit.
Yang dimaksud dengan Mertoyudan adalah Seminari Menengah St. Petrus Kanisius, Mertoyudan yang merupakan “rumah bersalin” dan bahkan induk semang Polri yakni pada 1946-1948 , Demikian diungkapkan pada sabtu (20/10/).
Dikatakannya, dalam paham budaya timur termasuk Sunda dan Jawa, orang hidup memiliki masa pasang dan masa surut. Sebuah persoalan tidak menjadi perhatian ketika masa orang tersebut sedang pasang. Namun ketika masa hidup seseorang surut, masalah sekecil apapun harus diperhatikan agar tidak menjadi sumber dari masalah yang besar dan tidak terselesaikan.
“Ketika hidup berada pada masa surut itulah biasanya dijadikan masa untuk refleksi dan menengok ke belakang seberapa jauh sudah berjalan dan bagaimana bentuk hidup yang sudah dijalani. Dan kalau perlu, seseorang harus kembali kepada orangtuanya, tanah kelahirannya untuk mendapatkan spirit dalam menyelesaikan seluruh masalah hidupnya,” jelas Maman Imanulhaq.
Tokoh pluralisme nasional ini melanjutkan bahwa, kembali ke orangtua atau tanah kelahirannya juga dilakukan ketika orang akan naik ke tingkat hidup yang lebih tinggi seperti ketika hamil, menikah atau bahkan ketika meninggal saja, ada pesan khusus untuk dimakamkan di tanah kelahirannya meskipun yang bersangkutan sudah puluhan tahun merantau. Tentu, budaya seperti ini, lebih berlaku ketika hidup seseorang sedang dalam masa surut, masa terpuruk.
Terkait kasus yang mendera Polri saat ini, Maman Immanulhaq yang juga Kordinator KOMPAK menjelaskan, seharusnya tidak ada rivalitas antar lembaga dalam pemberantasan korupsi. KPK harus menghargai Polri mengingat Polri itu lembaga negara terus melakukan reformasi di tubuhnya. Sikap menghargai KPK terhadap Polri memberikan motivasi kepada Polri untuk bersikap bersih, kuat dan berwibawa.
Harus diakui, negara ini tidak akan kuat tanpa Polri. Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga harus membantu Polri untuk bangkit dari keterpurukan. Sementara kepulangan Polri kembali ke tanah kelahirannya bisa dijadikan momentum untuk sikap refleksi atas sejarah panjangnya selama 66 tahun.(Jums-CR).
Tidak ada komentar
Posting Komentar