SEJARAH TARLING
Tarling, Melodi Sarat Pesan Moral
Bagi masyarakat yang tinggal di
pesisir pantai utara (pantura), terutama Kabupaten Indramayu dan Kabupaten
Cirebon, kesenian tarling telah begitu akrab. Alunan bunyi yang dihasilkan dari
alat musik gitar dan suling, seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup
yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga
mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur.
Meski telah begitu mengakar dalam
kehidupan masyarakat, tak banyak yang mengetahui bagaimana asal-usul
terciptanya tarling. Selain itu, tak juga diketahui dari mana sebenarnya
kesenian tarling itu terlahir.
Namun yang pasti, tarling merupakan
kesenian yang lahir di tengah rakyat pantura, dan bukan kesenian yang 'istana
sentris'. Karenanya, tarling terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,
dan tidak terikat ritme serta tatanan tertentu sebagaimana seni yang lahir di
tengah 'istana'.
Sebelum 'resmi' bernama tarling, kesenian ini dikenal dengan
sebutan 'melodi kota ayu' di Kabupaten Indramayu, dan 'melodi kota udang' di
Cirebon. Pada 17 Agustus 1962, ketua Badan Pemerintah Harian (BPH, sekarang
DPRD) Kabupaten Cirebon, menyebut kesenian itu dengan sebutan tarling.
Nama tarling itu diidentikkan dengan asal kata 'itar' (gitar
dalam bahasa Indonesia) dan suling (seruling). Versi lain pun mengatakan bahwa
tarling mengandung filosofi 'yen wis mlatar kudu eling'' (jika sudah berbuat
negatif, maka harus bertaubat).
Salah seorang tokoh seni asal
Kabupaten Indramayu, Supali Kasim, membuat catatan tersendiri soal tarling
dalam bukunya yang berjudul Tarling, Migrasi Bunyi dari Gamelan ke
Gitar-Suling. Dalam buku itu dia menuturkan, asal tarling mulai muncul sekitar
tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan/Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada
seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang
bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu
dikenal sebagai ahli gamelan.
Usai diperbaiki, sang komisaris
Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu
akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan
membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan.
Hal itupun dilakukan oleh anak Mang
Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian membuat eksperimen dengan
memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada
diatonis.
Karenanya, tembang-tembang (kiser)
Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi indah
dengan iringan petikan gitar. ''Keindahan itupun semakin lengkap setelah
petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu,'' ujar
Supali.
Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup
Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup
Bahkan pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu patromak (saat malam hari).
Tak berhenti sampai di situ, Sugra
pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama
yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di
tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat
Balen, maupun Lair Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon
Saida-Saeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya.
Tak hanya Sugra, di Kabupaten
Indramayu pun muncul sederet nama yang melambungkan tarling hingga ke berbagai
pelosok daerah. Di antara nama itu adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah
Kamsiyah, Hj Dariah, dan Dadang Darniyah. Pada dekade 1950-an, di Kabupaten
Cirebon muncul tokoh tarlig bernama Uci Sanusi.
Kemudian pada dekade 1960-an, muncul
tokoh lain dalam blantika kesenian tarling, yakni Abdul Ajib yang berasal dari
Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, dan Sunarto Marta
Atmaja, asal Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.
Seni tarling saat ini memang telah hampir punah. ''Namun, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura Dermayon dan Cerbon,'' tandas Supali.
Seni tarling saat ini memang telah hampir punah. ''Namun, tarling selamanya tidak akan bisa dipisahkan dari sejarah masyarakat pesisir pantura Dermayon dan Cerbon,'' tandas Supali.
Seni tarling pernah mengalami masa-masa suram & hampir
punah, namun tarling selamanya tak akan dapat dipisahkan dari sejarah
masyarakat pesisir pantura, Indramayu (Dermayon) , Cirebon & wilayah utara
Brebes.," tandas Supali
Pada tahun 1998 merupakan tahun bangkitnya kembali lagu-lagu
tarling & mencapai puncaknya di tahun 2002 hingga 2006 dengan artis
generasi baru.( Dari berbagai sumber )
Tidak ada komentar
Posting Komentar