Header Ads


sejarah wayang kulit

Perkembangan Sejarah islam di cirebon tidak terlepas dari unsur budaya, salah satu unsur budaya tersebut adalah wayang kulit yang sering dipentaskan saat adanya acara-acara tertentu seperti kelahiran, sunatan, pernikahan, dan upacara tolak bala. Selain berfungsi sebagai sarana rekreatif, pergelaran wayang juga memiliki fungsi religulitas.
Menurut Ardian kresna (2012:17) wayang adalah wujud dari upaya penggambaran nenek moyang Jawa tentang kehidupan manusia pada umumnya. Mereka meyakini bahwa setiap benda yang hidup pasti mempunyai ruh, ada yang baik ada pula yang jahat, sehingga saat itu (sekitar tahun 1500 SM) dibuatlah wayang dalam bentuk ilusi atau bayangan. Prosesi wayangan dengan penambahan sesaji tersebut menjadi tindakan upacara keagamaan (animisme). Setelah agama Hindhu, Budha, dan Islam masuk ke Jawa, fungsi dan peranan wayang berubah menjadi alat peragaan untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu, muncullah nama-nama lakon yang disesuaikan dengan agama-agama yang mengusungnya.
Berdasarkan musium wayang Cirebon juga memiliki Wayang Kulit yang mendapat pengaruh langsung dari Demak ketika para Wali Songo masih hidup. Bentuk tatahan halus, warna cat kehijauan, sedang ciri khasnya adalah pakaian. Batara Narada, Batara Kala tidak memakai baju atau telanjang dada, tidak seperti wayang kulit Purwa dari Surakarta dan Yogyakarta, dimana para Dewa memakai baju. Wayang Cirebon, pakem wayang ini mengambil ceritera dari kitab Mahabharata dan Ramayana yang telah diperbarui dan disesuaikan dengan dasar-dasar agama Islam oleh Sunan Panggung (Sunan Kalijaga). Tokoh Punakawan disini menjadi 9 orang, yaitu : Semar, Gareng, Dawala, Bagong, Curis, Witorata, Ceblek, Cingkring, dan Bagol Buntung (melambangkan jumlah 9 wali yang ada dalam menjalankan dakwah Islamiyah
salah satu punakawan versi cirebon adalah sebagai berikut
Versi Cirebon : Semar menikah dengan Sudiragen, titisan dari isterinya di alam Kahyangan, yaitu Dewi Sanggani (puteri Umayadewa) , dari Sudiragen Semar tidak memperoleh anak. Tetapi Palasara, tempat Semar mengadi menyuruh Semar untuk mempunyai panakawan pembantu.
Semar menciptakan panakawan dan diakui sebagai anaknya, yaitu Ceblog, dari gagang daun kelapa (papah blarak), Bitarota, dari orang-orangan sawah (unduh-unduh), Duwala,dari bonggol atau tonggak bambu (bonggolan pring), Bagong, dari daun kastuba (kliyange godong kastuba), Bagalbuntung , dari bonggol jagung (bagal jagung), Gareng, dari potongan kayu gaharu dan Cungkring atau Petruk, dari potongan bambu (anjir dawa).
Versi Cirebon lainnya menyebutkan Bagong berasal dari tunggak jati.
Isteri Bagong ialah Dewi Bagnawati puteri Prabu Balya, raja gandarwa di kerajaan Pucang Sewu. Menurut versi Sunda, istri Cepot, ialah Endang Laelasari, putri Togog Wijamantri, dari perkawinannya Cepot berputra Sanggalangit. 

http://cirebonan.org

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.