Keunikan Ritual Sadranan
Upacara atau ritual tradisional masyarakat Jawa merupakan salah satu wujud peninggalan kebudayaan pada masa Hindhu-Buddha sampai masa di mana Islam masuk ke pulau Jawa. Sebagai orang Jawa, tujuan melaksanakan upacara tradisional adat demi mencapai ketentraman hidup lahir dan batin. Melestarikan kebudayaan turun temurun dari nenek moyang adalah suatu keharusan demi menjaga kelestarian budaya.
Proses ini senantiasa dijaga dan dilestarikan guna menjaga hubungan generasi penerus dengan leluhur, sehingga rantai keturunan sebagai suku Jawa tidak akan terputus. Salah satu manfaat yang dirasakan dari pelaksanaan upacara adat tradisional adalah menjaga hubungan silaturahmi antar keluarga maupun tetangga. Di saat upacara adat tradisional dilaksanakan pasti semua anggota keluarga akan berkumpul, ini yang akan terjadi ketika pelaksanaan acara nyadran di suatu desa.
Masuknya agama Islam ke pulau Jawa membuat upacara-upacara tradisional justru malah semakin lestari, lantaran penyebaran agama Islam dilakukan secara damai dan menggunakan pendekatan kultural dengan mengakomodasi tradisi lokal masyarakat, membuat respon dari masyarakat dengan mudah dan cepat menerima. Hal ini tidak lain atas prakarsa para Wali Sanga yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Ritual-ritual masyarakat Jawa sebelum Islam masuk seperti sekaten, grebeg, slametan, nyadran, maupun yang lainnya tetap dipertahankan oleh Wali Sanga dalam menyebarkan syiar Islam yang disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam dan tidak menyimpang dengan tuntunan. Salah satu yang masih lestari hingga saat ini adalah acara adat tradisional nyadaran atau sadranan.
Keunikan acara nyadran atau sadranan yang dilakukan oleh masyarakat di desa Balong Pakembinangun, Pakem Sleman, Yogyakarta yang sudah dilakukan dari generasi ke generasi. Nyadaran pada masyarakat Jawa biasanya dilaksanakan pada tanggal 17-24 bulan Ruwah atau bulan Sya’ban dalam kalender Islam. Acara ini dilakukan ketika akan mendekati bulan puasa, sekitar 1-2 minggu sebelum bulan Ramadhan. Nyadran dimasudkan sebagai penghormatan kepada leluhur atau kerabat yang sudah meninggal. Masyarakat Jawa menganggap para leluhur sebagai orang yang sangat berjasa terhadap keberadaan manusia saat ini.
Oleh sebab itu, para leluhur pantas untuk diperhatikan atau dalam bahasa Jawa disebut uri-uri. Sederhananya tradisi nyadran ini adalah acara yang dilakukan oleh seluruh warga kampung secara bersama-sama datang ke makam, kemudian mendo’akan arwah leluhur agar diberi pengampunan oleh sang pencipta, dan acara ini dilakukan sebelum menginjak bulan Ramadahan yang dilakukan setiap setahun sekali.
Melihat proses yang terjadi di masyarakat Balong ada keunikan tersendiri, dilihat dari proses pra acara, saat acara dan pasca acara. Sekitar seminggu sebelum acara nyadran dilakukan, seluruh warga mengadakan acara kenduri terlebih dahulu. Masyarakat sering menyebutnya semacam sedekah. Setiap warga membawa makanan sendiri-sendiri dari rumah, kemudian makanan tersebut disusun berjejer dan seluruh warga memanjatkan doa supaya dilancarkan dalam menjalankan ibadah puasa yang akan segera datang.
Setelah selesai berdoa kemudian makanan yang dibawa tadi juga dibagikan kepada seluruh warga masyarakat, namun berbeda dengan makanan yang dibawa dari rumah. Hal ini menunjukkan sifat masyarakat pedesaan yang masih sangat kental yaitu gotong royong dan saling berbagi satu sama lainnya.
Sehari sebelum acara nyadran dilakukan, masyarakat gotong royong membersihkan tempat untuk berkumpul di samping pemakaman. Acara nyadaran memang dilaksanakan di makam, karena inti dari acara adalah berdoa untuk arwah para leluhur. Biasanya masyarakat yang ikut gotong royong adalah pemuda dan bapak-bapak, mereka memasang tenda dan membersihkan lingkungan area pemakaman. Pagi harinya sekitar jam 9 pagi masyarakat sudah berduyun-duyun datang ke area pemakaman sambil membawa makanan yang nantinya akan ditukar dengan sanak saudara dan tetangga, tidak lupa juga untuk sedekah.
Acara pertama yaitu kenduri, seluruh warga berkumpul dibawah tenda, kemudian sesepuh kampung beserta para pemimpin agama dan para bapak-bapak membacatahlil sebagai panjatan doa-doa kepada seluruh arwah leluhur. Ada satu ciri khas yaitu makanan yang ditempatkan di besek yaitu tempat seperti box nasi yang ditempatkan ditengah-tengah orang yang membaca doa. Setelah pembacaan tahlil selesai, setiap anggota masyarakat masuk ke area pemakaman sambil membawa bunga dan air untuk ditabur di atas makam sambil membacakan doa.
Disamping itu juga anggota keluarga lainnya saling bertukar makanan kepada sanak saudara ataupun tetangga terdekat, dan mereka juga menyisihkan sedikit untuk disedekahkan. Makanan yang disedekahkan tersebut diperuntukkan bagi “gajah”, sebutan masyarakat sekitar ketika bersedekah makanan di waktu nyadran. Setelah saling tukar menukar makanan para warga kembali ke rumah masing-masing dan berkumpul bersama di rumah.
Makna yang tersirat pada acara nyadran tidak lain sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus memanjatkan doa kepada-Nya untuk para arwah leluhur. Hal ini senantiasa dijaga untuk menjaga tali silaturahmi antar keluarga. Disamping itu anggota keluarga yang merantau jauh juga akan kembali ke kampung halaman untuk berziarah ke makam kuburan leluhur dan berkumpul bersama keluarga.
Rasa gotong royong juga menjadi dasar yang kuat bagi masyarakat pedesaan, ini sebabnya ketika acara yang bersifat adat selalu melibatkan seluruh warga masyarakat. Selain masih melestarikan adat istiadat, di sisi agama Islam, menyambut bulan puasa atau bulan Ramadhan sebagai salah satu syarat agar dilancarkan dalam menjalani ibadah puasa. Nyadaran adalah akulturasi upacara tradisional dan ritual keagamaan yang sampai sekarang masih lestari terutama di pedesaan-pedesaan Jawa.
( Sumber : kebudayaanindonesia.net )
Tidak ada komentar
Posting Komentar